Jumat, 01 Januari 2016

Hubungan Commission of Human Dengan Etika Bisnis



Nama : PRMA BAYU PERSADA
NPM  : 15212708
Kelas : 4 EA 25

Hubungan Commission of Human Dengan Etika Bisnis

 

I.        COMISSION OF HUMAN

Pengertian HAM (Hak Asasi Manusia) menurut Jan Materson dari komisi HAM PBB, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah dari Tuhan, bukan pemberian manusia ataupun penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Pengertian HAM terdapat dalam UU tentang Hak Asasi Manusia pasal 1, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah, hukum dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.


II.      Sejarah HAM (Hak Asasi Manusia)

1.  Sejarah Lahirnya HAM (Hak Asasi Manusia)

Berbicara mengenai sejarah HAM atau sejarah Hak Asasi Manusia, para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Piagam ini menyatakan bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, akan tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum), kekuasaan raja tersebut dibatasi dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari piagam tersebut kemudian lahir suatu doktrin bahwa raja tidak kebal hukum lagi serta bertanggungjawab kepada hukum.
Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah babak baru bagi pelaksanaan HAM yaitu jika raja melanggar hukum ia harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa sejak itu sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, namun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangannya.

2.  Sejarah Perkembangan HAM (Hak Asasi Manusia)

Setelah dunia mengalami dua proses peperangan yang melibatkan hampir seluruh kawasan dunia, dimana hak hak asasi manusia telah diinjak-injak, timbul keinginan unutk merumuskan hak hak asasi manusia itu di dalam suatu naskah Internasional. Usaha ini baru dimulai tahun 1948 dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights yaitu pernyataan sedunia tentang hak hak asasi manusia oleh negara-negara yang tergabung dalam PBB. Lahirnya deklarasi HAM Universal merupakan reaksi atas kejahatan keji kemanusiaan yang dilakukan oleh kaum sosialis nasional di jerman selam 1933 sampai 1945.
Terwujudnya deklarasi HAM yang dideklarasikan pada tanggal 10 desember 1948 harus melewati proses yang cukup panjang dan melelahkan. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah HAM yang mendasari kehidupan manusia dan yang bersifat universal dan asasi.
Hak-hak manusia yang telah dirumuskan sepanjang abad ke-17 dan 19 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai hukum alam, sepertian yang dirumuskan oleh John Lock dan Jean Jaques Rousseau dan hanya membatasi pada hak-hak yang bersifat politis saja, sepertia kesamaan hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.








III.    Hakikat Etika, Etika, Moralitas & Etika Bisnis

1.  Hakikat Etika

Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna yang berbeda. Salah satu maknanya adalah: “ prinsip tingkah laku yang mengatur individu atau kelompok .” 10 Kadang kita menggunakan istilah etika personal, misalnya, ketika mengacu  pada aturan – aturan dalam lingkup dimana orang per orang menjalani kehidupan pribadinya. Kita menggunakan istilah etika akuntansi ketika mengacu pada seperangkat aturan yang mengatur tindakan professional akuntan.

Makna kedua- dan lebih penting- mengenai etika menurut kamus adalah: Etika adalah “ kajian moralitas “. Para ahli etika menggunakan istilah etika untuk mengacu terutama pada pengkajian moralitas, sama seperti ahli kimia menggunakan istilah kimia untuk mengacu pada pengkajian unsur – unsur subtansi kimiawi. Meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah semacam penelaahan- baik aktivitas penelaahan maupun hasil-hasil penelaahan itu sendiri – sedangkan moralitas merupakan subjek.

2.  Moralitas

Lalu apakah moralitas itu? Kita dapat mendefinisikan moralitas sebagai pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Untuk memperjelas apakah maksudnya, marilah kita melihat kasus konkret.

Beberapa tahun yang lalu, B.F. Goodrich, pemanufaktur komponen kendaraan pesawat terbang, memenangkan kontrak militer untuk mendesain, menguji dan memproduksi rem pesawat A7D, sebuah pesawat baru yang sedang didesain Angkatan Udara. Untuk mengonversi berat, Goodrich menjamin bahwa rem yang diproduksinya tidak melebihi berat 106 pound, terdiri atas empat piringan kecil atau “ rotor ,‘ dan mampu menghentikan pesawat dalam jarak tertentu. Kontrak tersebut secara potensial sangat menguntungkan bagi perusahaan sehingga para manajer sangat berminat untuk menciptakan rem yang “ bermutu “ yaitu dengan sukses dapat lolos tes dan mampu menghentikan pesawat seperti yang diharapkan. Kermit Vandivie, seorang karyawan Goodrich, mendapatkan tugas untuk bekerja sama dengan para insyinyur Goodrich untuk membuat laporan tentang tes rem tersebut, yang tidak akan dipersoalkan oleh pemerintah dan mungkin tidak perlu diulang. Namun saying, tulis Vandivier kemudian, ketika rem kecil itu diuji linings.”11 pada permukaan rotor berulang kali “ terhapus “ sebab “ tidak terdapat luas permukaan yang mencukupi untuk menghentikan pesawat sehinggga menyebabkan panas yang berlebih dan merusak lining .” Supervisornya, meskipun demikian, berkata kepadanya bahwa “ tidak peduli apa yang terjadi pada rem ketika diuji, kita tetap akan meloloskannya .” 12 Setelah beberapa tes dilakukan, Vandivierdiminta membuat laporan yang menyatakan bahwa rem tersebut telah lolos uji. Vandivier menjelaskan kepada supervisornya bahwa, “ laporan itu hanya mungkin dibuat dengan memanipulasi data tes,” yang ditimpali oleh supervisornya bahwa, dia sadar betul akan tuntutan yang harus dipenuhi, tetapi dia diperintahkan untuk membuat laporan tertulis tidak peduli bagaimana atau apa yang telah terjadi.”13 Dengan demikian, Vandivier harus memutuskan apakah dia ingin berpartisipasi dalam membuat laporan palsu.

3.  Etika

Apakah etika itu? Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan kita dan apakah standar ini masuk akal atau tidak masuk akal-standar yaitu, apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau yang jelek.

Etika bukan hanya cara untuk memelajari moralitas. Ilmu-ilmu sosial semacam antropologi, sosiologi dan psikologi juga memelajari moralitas, namun melakukannya dengan cara yang sangat berbeda dari pendekatan moralitas yang merupakan ciri etika. Meskipun etika merupakan studi normatief mengenai etika, ilmu-ilmu social terlibat dalam studi deskriptif etika. Sebuah studi normatif merupakan penelusuran yang mencoba mencapai kesimpulan-kesimpulan normatif yaitu, kesimpulan tentang hal-hal yang baik dan buruk atau tentang tindakan apa yang benar atau salah. Ringkasnya, studi normatif bertujuan menemukan apa yang seharusnya.

4.  Etika Bisnis

Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.

Institusi yang paling berpengaruh di dalam masyarakat sekarang ini adalah institusi ekonomi. Institusi ini didesain untuk mencapai dua tujuan: (a) produksi barang dan jasa yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat, dan (b) distribusi barang dan jasa ke beragam anggota masyarakat.

Perusahaan bisnis merupakan institusi ekonomi yang utama yang digunakan orang dalam masyarakat modern untuk melaksanakan tugas memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa. Perusahaan merupakan struktur fundamental yang di dalamnya anggota masyarakat mengombinasikan sumber daya langkah  tanah, tenaga kerja, modal dan teknologimenjadi barang yang bergunadan perusahaan menyediakan saluran-saluran untuk mendistribusikan barang-barang dalam produk consumer, gaji karyawan, pengembalian investor dan pajak pemerintah. Pertambangan dan pemanufakturan, eceran, perbankan, pemasaran, pengiriman, asuransi, konstruksi dan iklan  semua merupakan bagian yang berbeda dari proses produktif dan distributive institusi bisnis modern.

IV.      Pengaruh Etika Bisnis dengan Commission of Human

Dalam diskursus hak asasi manusia, kata "tanggung jawab" atau "kewajiban" biasanya dikaitkan dengan negara.
Ini paradigma lama yang berasumsi, lokus kekuasaan real politik terletak pada negara. Kini berkembang paradigma baru yang melihat sentra-sentra kekuasaan kini tersebar ke pelbagai institusi nonnegara. Karena itu, bukan hanya negara yang bertanggung jawab, tetapi juga bisnis dan aktor nonnegara lainnya. Tanggung jawab bisnis ini dikenal sebagai corporate social responsibility (CSR).
CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak hadirnya tulisan Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen tahun 1953 (Harper and Row, New York). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan pelbagai tindakan yang harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat.
Diskursus tentang CSR kian mengalami diversifikasi dan proliferasi definisi. Namun intinya adalah bisnis bertanggung jawab "melampaui isu ekonomi sempit, teknis, bahkan persoalan legal semata" (Davis, 1973).
Singkatnya, konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta operasi antarnegara.
Masalahnya, sejak awal pemunculan hingga kini, konsep CSR berkesan amat moralis. Kata "sosial" dalam CSR bermakna peyoratif yang berarti "sukarela", lebih bermakna sebagai tindakan filantropi, altruistik, kebaikan budi, bukan sebuah kewajiban. Padahal, terkait dengan advokasi hak asasi manusia, imbauan moralis serta semangat altruistik di balik kata "sosial" sama sekali tidak memadai.
Konsep hak asasi manusia mengimplikasikan adanya "tanggung jawab" atau "kewajiban", baik politik maupun hukum.
Namun, sudah jamak, hukum bukanlah hukum tanpa enforcement, atau dalam perspektif filsafat hukum sering disebut "faktisitas", yaitu keterterimaan oleh masyarakat dan subyek hukum lainnya, seperti pebisnis. Enforcement itu, tidak bisa tidak, pasti mengandaikan politik. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab terpenting terkait dengan CSR adalah tanggung jawab politik.


Sumber:

0 Komentar:

Posting Komentar